Industri farmasi Indonesia diproyeksikan terus tumbuh seiring kebutuhan obat nasional yang meningkat. Namun, terdapat sejumlah hambatan mendasar yang harus segera diatasi agar sektor ini bisa mandiri dan kompetitif di pasar global. Tiga tantangan terpenting adalah:
1. Ketergantungan Tinggi pada Impor Bahan Baku
Sekitar 90–95% bahan baku obat (API dan eksipien) masih diimpor, terutama dari Tiongkok dan India. Kondisi ini membuat industri farmasi sangat rentan terhadap gangguan rantai pasok global, fluktuasi harga, hingga risiko geopolitik. Walaupun pemerintah telah mendorong program substitusi bahan baku lokal, realisasi membutuhkan investasi besar dan transfer teknologi jangka panjang.
- Regulasi Kompleks dan Proses Perizinan
Proses pendaftaran obat dan izin edar di Indonesia dikenal panjang dan birokratis. Bagi perusahaan lokal, khususnya skala kecil-menengah, kepatuhan terhadap standar BPOM dan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) sering menjadi hambatan. Regulasi yang belum sepenuhnya harmonis dengan standar internasional juga memperlambat peluang ekspor. Penyederhanaan birokrasi dan digitalisasi layanan perizinan menjadi kunci untuk mempercepat inovasi.
3. Kurangnya Inovasi dan Riset Lokal
Industri farmasi nasional masih didominasi oleh produksi obat generik. Investasi dalam R&D (research and development) relatif kecil, sehingga pengembangan obat inovatif maupun bioteknologi masih terbatas. Banyak riset di perguruan tinggi tidak berlanjut menjadi produk industri karena lemahnya ekosistem hilirisasi. Jika kondisi ini tidak segera diatasi, Indonesia akan sulit bersaing dengan negara tetangga yang lebih agresif dalam riset bioteknologi.
Penutup
Ketiga tantangan ini saling berkaitan: tanpa kemandirian bahan baku, penyederhanaan regulasi, dan penguatan riset inovatif, industri farmasi Indonesia akan terus bergantung pada luar negeri. Jika pemerintah, akademisi, dan industri mampu bersinergi, Indonesia berpeluang menjadi pemain penting di pasar farmasi regional dalam 10 tahun ke depan.